Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2009

Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana

Masyarakat Jawa sangaat menekankan pentingnya etika atau sopan santun dalam pergaulan. Oleh sebab itu, harga diri atau prestise seseorang juga ditentukan oleh penampilannya, baik dalam bentuk perilaku atau tampilan fisik. Penampilan perilaku berupa pakaian yang dikenakannya. Orang Jawa memberikan peringatan agar seseorang dapat menjaga penampilan itu, penampilan lisan/ucapan dan tampilan berbusana. Ungkapan itu berbunyi ajining dhiri ana lathi, ajining raga ana busana (harga diri seseorang terletak pada bibir dan harga badan ada di pakaian). Yang dimaksud denga ‘bibir’ disini adalah ucapan atau kata-katanya. Nasihat itu dapat memenuhi harapan jika dilandasi dengan bertindak samadya (wajar). Mari kita urai ungkapan itu satu per satu. Ajining dhiri ana lathi (harga diri terletak pada ucapannya). Ucapan atau lisan memegang peranan penting bagi seseorang karena diyakini harga diri seseorang ditentukan oleh gerak bibir (ucapan atau lisan), seseorang harus berhati-hati menjaga lisannya.

Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa

Ungkapan aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa (jangan merasa bisa, tetapai bisalah merasa) memiliki makna yang sangat strategis dan mendalam. Ungkapan ini bernada nasihat agar seseorang tumbuh menjadi sosok yang rendah hati, sebaliknya tidak tumbuh menjadi sosok yang tinggi hati atau somboong. Dalam kehidupan masyarakat Jawa tradisional, banyak ditemukan unen-unen atau wewarah (nasihat) agar seseorang tetap dalam koridor pribadi yang lembah manah (rendah hati, dan rendah hati tidak berarti rendah diri) dan sebaliknya kita mengangggap rendah pihak lain. Dalam ajaran Jawa, seseorang lebih ditekankan untuk dapat melakukan koreksi ke dalam sehingga tidak terdorong untuk “menghujat” atau “merendahkan” orang lain. Dalam berbagai kesempatan, seseorang harus tetap bersikap untuk menahan diri dan tidak terdorong untuk menonjolkan dirinya sendiri (tidka dibenarkan utnuk bersikap unjuk gigi). Terlebih lagi, dalam tatanan sosial-kemasyarakatan Jawa, tidak pada tempatnya seseorang melakuka

Aja Nggege Mangsa

Ungkapan aja nggege mangsa terdiri dari kata aja (jangan), nggege (mempercepat atau mendahului) dan mangsa (waktu). Secara eksplisit, ungkapan aja nggege mangsa berarti ‘jangan mendahului waktu’. Dalam etika dan filsafat Jawa, ungkapan itu memiliki makna yang lebih dalam. Pemaknaanya terkait erat dengan sikap hidup dan kaitan jati dir manusia sebagai individu, sosial dan umat ciptaan Tuhan. Ungkapan aja nggege mangsa berisi nasihat agar dalam upaya mencapai maksud atau cita-cita tertentu, seseorang harus mampu mengendalikan dirinya. Demi suatu keinginan sesorang dianjurkan untuk tidak melakukan kecurangan. Tanpa didasari oleh pengendalian diri dan keyakinan bahwa segalanya akan ditentukan oleh Tuhan, seseorang seringkali tergelincir pada sikap nggege mangsa (mendahului waktu). Dari keinginan yang tidak terkendali itu, seseorang bisa terperosok pada tindakan negatif asal tujuan atau keinginannya tercapai. Untuk menghindar dari hal tersbut, maka dalam berusaha kita perlu menyeimb

Aja Metani Alaning Liyan

Ungkapan aja metani alaning liyan berisi nasihat yang berorientasi pada upaya untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam pergaulan sosial. Pendek kata, agar terjadi situasi hidup bermasyarakat yang saling percaya, saling menghormati, saling menghargai demi terciptanya lingkungan sosial-kemasyarakatan yang harmonis. Kata metani dalam ungkapan tersebut terbentuk dari kata dasar bahasa Jawa petan (cari kutu rambut), dan metani berati (mencari kutu rambut). Petan yang berubah menjadi metani sebagai bentuk aktif, yang berarti mencari kutu rambut. Kata alaning (jeleknya) terbentuk dari kata ala (jelek) dan mendapat akhiran ning . Kata liyan (lain, pihak lain) berasal dari kata dasar liya yang mendapat ahiran an lain, sehingga berarti lain atau orang lain. Kutu rambut adalah hewan yang sangat kecil, sudah pasti hewan itu sulit didapatkan. Orang mencari kutu rambut memberi gambaran mencari sesuatu yang kecil di tengah-tengah rambut. Akan tetapi, pekerjaan yang sulit itupu

Aja Cedhak Kebo Gupak

Dalam pandangan masyarakat Jawa, watak dan perbuatan atau kepribadian seseorang diperngaruhi oleh pergaulan atau akibat komunikasi dengan oran lain, Oleh sebab itu, orang Jawa memiliki pertimbangan yang sangat hati-hati dalam memilih teman pergaulan. Jika bergaul dengan orang yang berperilaku baik, kemungkinan besar dirinnya akan berkembang menjadi pribadi yang baik. Sebaliknya, jika bergaul dengan orang berperangai buruk atau jelek, seseorang cenderung tumbuh menjadi pribadi yang tidak baik. Secara gambling, jika bergaul dengan pencuri, perampok, pembunuh, koruptor, pemeras, pemberontak, dan sejenisnya, seseorang akan memiliki watak sebagai pencuri, perampok, pembunuh, koruptor, pemeras, pemberontak, dan sebagainya. Sejalan dengan itu ungkapan witing tresna jalaran seka kulina pun memiliki relevansi dalam pembentukan perilaku seseorang akibat pergaulannya. Pada awalnya seseorang merasa kaku atau kikuk sewaktu bergaul dengan orang-orang berperangai buruk. Akan tetapi, lama kelamaan, i

Alaq Tau

Sebuah ritual yang dilakukan warga Dayak Kenyah di Samarinda, Kalimantan Timur sebelum memulai masa tanam padi. Tradisi ini bertujuan untuk memohon petunjuk kepada Sang Pencipta dalam memilih waktu yang tepat untuk menanam padi. Ritual diawali pembacaan doa yang dilakukan tetua adat. Waktu yang tepat biasanya didasarkan pada bentuk koordinat tertentu dari matahari yang dibaca tetua adat. Kemudian, ritual ini dilanjutkan dengan sejumlah tarian yang berhubungan dengan kehidupan agraris warga seperti tari pangpagaq; tari udoq aban; dan tari anyam tali. Tari pangpagaq adalah tarian yang menggambarkan upaya menangkap binatang yang masuk ke areal pertanian, gerakannya melompat-lompat di antara kayu dengan rentak teratur seperti hendak menjebak binatang. Sedangkan tari udoq aban atau tarian topeng dimaksudkan untuk mengusir roh jahat dan hama padi menjelang musim panen tiba. Rangkaian tarian ditutup dengan tari anyam tali yang menggambarkan persatuan warga. Sumber : melayuonline.

Bahasa Banjar

Bahasa Banjar yang digunakan hampir seluruh penduduk Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) hingga saat ini banyak dipengaruhi bahasa Melayu dan bahasa Dayak sebagai bahasa asli penduduk Pulau Kalimantan. Pengaruh bahasa Melayu dan bahasa Dayak itu kalau ditinjau dari segi fonologi maupun morfologi, maka bahasa Banjar digolongkan pada dua karakter lingua, kata pemerhati bahasa Banjar Mukhlis Maman, di Banjarmasin, Kamis (28/2). Kedua karakter lingua itu yakni bahasa Banjar hulu dan bahasa Banjar kuala atau muara. Mukhlis Maman yang juga seorang seminam komedian bahasa Banjar berkesempatan berbicara dengan tema Bahasa Banjar dalam Media Tradisional pada acara penyuluhan bahasa Banjar untuk kalangan pelajar dalam rangka peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2008 di Banjarmasin. Berdasarkan fonologi, bahasa Banjar hulu hanya mengenal tiga huruf vokal yaitu; a, i, u. Sedangkan bahasa Banjar kuala terdapat enam huruf vokal yaitu; a, i, u, e, o, dan e. Morfologi bahasa Banjar hu

Pángu Mutiara Budaya Tionghoa

Dalam sejarah Tionghoa disebutkan seorang makhluk bernama Pángu. Ia dikisahkan sebagai leluhur pembuka langit dan bumi yang dengan sekuat kemampuannya dan mengorbankan nyawanya sendiri untuk menggantikan keberadaan dunia ini. “Pángu umumnya dilukiskan sebagai raksasa primitif berbulu dengan tanduk di kepalanya dan memakai pakaian dari bulu binatang,” ujar Sunanto Eddy Tamrin, seorang peminat budaya Tionghoa kepada Tribun belum lama ini. Dengan kata lain, Pángu adalah wujud dari alam semesta, dalam legenda memisahkan langit dan bumi. Ia juga diyakni sudah menciptakan unsur kebudayaan, ilmu pengetahuan dan filosofi yang sangat kaya dan menarik. “Semangat dan kerja keras Pángu yang sampai mengorbankan diri untuk membentuk dunia merupakan semangat manusiawi yang paling luhur dan tinggi,” papar Sunanto. “Selama ribuan tahun, legenda Pángu di atas dunia yang ia ciptakan dengan mengorbankan jiwanya tetap dikenang dan disebarluaskan dari generasi ke generasi. Tak pelak Pángu menjadi satu d

Isen Mulang

Isen Mulang merupakan kata yang diambil dari teks sebenarnya yang bertuliskan “ Isen Mulang Pantang Mundur Dia Tende Nyamah Nggetu Hinting Bunu Panjang ”. Kata Isen Mulang sangat dikenal di Kalimantan Tengah, bahkan terkandung pula pada Lambang/ Simbol/ Logo Provinsi Kalimantan Tengah. Secara sederhana kata “Isen Mulang” dapat diartikan sebagai semangat Pantang Mundur. Kata-kata Isen Mulang merupakan Bahasa Sangiang yakni Bahasa Dayak yang tertua di Kalimantan Tengah (Kalteng) . Bahasa Sangiang ini hingga sekarang masih banyak digunakan oleh Suku Dayak yang beragama Kaharingan untuk melakukan ritual keagamaan dan komunikasi dengan yang maha kuasa. Kata Isen Mulang merupakan simbol semangat juang masyarakat Kalteng untuk membangun daerah, khususnya Kalimantan Tengah tanpa henti-hentinya sampai tutup usia atau titik darah terakhir.

Adigang, Adigung, Adiguna

Ungkapan adigang , adigung , adiguna sangat populer dalam masyarakat Jawa. Ungkapan ini berisi nasihat agar seseorang tidak berwatak angkuh atau sombong seperti watak binatang yang tersirat dalam ungkapan ini. Adigang adalah gambaran watak kijang yang menyombongkan kecepatan/ kekuatan larinya. Adigung merupakan watak kesombongan binatang gajah yang karena besar tubuhnya selalu merasa menang dibandingkan hewan yang lainnya. Adiguna sebagai gambaran watak ular yang menyombongkan dirinya karena memiliki bisa/ racun yang ganas dan mematikan. Sebagai orang Jawa yang sangat mementingkan watak andhap asor atau lemah lembut (rendah hati), maka tidak selayaknya memiliki watak sombong dan angkuh tersebut. Dan sebagai manusia yang mengakui bahwa hidup memerlukan orang lain, maka seseorang harus menjauhi watak menyombongkan kekuatan, kebesaran tubuh, dan kewenangannya. Tidak sepatutnya seseorang yang memiliki kekuatan/ kemampuan fisik berwatak seperti sombongnya kijang, dan memanfaatkan kekuata