Langsung ke konten utama

Pángu Mutiara Budaya Tionghoa

Dalam sejarah Tionghoa disebutkan seorang makhluk bernama Pángu. Ia dikisahkan sebagai leluhur pembuka langit dan bumi yang dengan sekuat kemampuannya dan mengorbankan nyawanya sendiri untuk menggantikan keberadaan dunia ini.

“Pángu umumnya dilukiskan sebagai raksasa primitif berbulu dengan tanduk di kepalanya dan memakai pakaian dari bulu binatang,” ujar Sunanto Eddy Tamrin, seorang peminat budaya Tionghoa kepada Tribun belum lama ini.



Dengan kata lain, Pángu adalah wujud dari alam semesta, dalam legenda memisahkan langit dan bumi. Ia juga diyakni sudah menciptakan unsur kebudayaan, ilmu pengetahuan dan filosofi yang sangat kaya dan menarik. “Semangat dan kerja keras Pángu yang sampai mengorbankan diri untuk membentuk dunia merupakan semangat manusiawi yang paling luhur dan tinggi,” papar Sunanto.

“Selama ribuan tahun, legenda Pángu di atas dunia yang ia ciptakan dengan mengorbankan jiwanya tetap dikenang dan disebarluaskan dari generasi ke generasi. Tak pelak Pángu menjadi satu di antara mutiara dalam kebudayaan Tionghoa,” tambahnya.


Ketika alam semesta baru mulai, tak ada apapun di alam ini, kecuali suatu kekacauan tanpa bentuk. Tetapi kemudian kekacauan ini mulai bersatu dalam suatu kosmis berbentuk telur untuk waktu 18.000 tahun. Di dalam kosmis itu, dengan sempurna terdapat prinsip Yin dan Yáng yang mulai menjadi seimbang sehingga Pángu muncul dan hidup (atau bangun) dalam telur tersebut. Pángu langsung memulai tugas menciptakan dunia, antara lain memisahkan Yin dan Yáng dengan ayunan dari kampak raksasanya, menciptakan bumi (Yin yang suram, kuning telur) dan langit (Yáng yang bersih, putih telur). Untuk menjaga bumi dan langit tetap terpisah, Pángu berdiri di antara bumi dan langit dan mendorong langit ke atas.

Tugas ini menghabiskan waktu selama 18 ribu tahun, di mana setiap hari langit naik 10 kaki lebih tinggi, bumi 10 kaki lebih luas, dan Pángu tumbuh 10 kaki lebih tinggi. Dalam beberapa versi cerita ini, Pángu dalam tugas ini dibantu oleh empat binatang yang sangat terkenal dalam tradisi Tionghoa, yakni Xuánwu (Kura-kura), Qílín (Kirin), Fènghuáng (Phoenix), dan Lóng (Naga).

Setelah 18 ribu tahun berlalu, Pángu berbaring untuk istirahat. Hembusan nafasnya diyakini menjadi angin, suaranya menjadi guntur, mata kanannya menjadi matahari dan mata kirinya menjadi bulan. Badannya menjadi pegunungan, darahnya mengalir membentuk sungai, ototnya menjadi tanah yang subur, bulu mukanya menjadi gugusan bintang. Bulu badannya menjadi hutan dan semak, tulangnya menjadi air mineral yang berharga, sumsum tulangnya menjadi intan yang suci, keringatnya jatuh sebagai hujan, dan makhluk kecil pada badannya yang dibawa oleh angin menjadi manusia di seluruh penjuru dunia.

Penulis pertama untuk catatan mistik Pángu adalah Xú Zheng pada zaman Periode Tiga Kerajaan atau periode Zhan Guo. Gunung Pángushan, yang terletak 15 kilometer arah selatan Mìyángxiàn Provinsi Hénán, Cina diyakini sebagai tempat di mana Pángu memisahkan langit dan bumi, menciptakan manusia dan segala makluk di dunia ini. (ruri)

sumber : http://hanonsari.com


Komentar

  1. Las Vegas Casinos 2021 - JamBase
    The best Las Vegas Casinos - 2021 List! 정읍 출장샵 Read about the top casinos in 충청남도 출장샵 Las Vegas by Las 대전광역 출장마사지 Vegas is a Strip 진주 출장마사지 gambling 제주도 출장마사지 paradise. Play slot games in a casino

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aja Metani Alaning Liyan

Ungkapan aja metani alaning liyan berisi nasihat yang berorientasi pada upaya untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam pergaulan sosial. Pendek kata, agar terjadi situasi hidup bermasyarakat yang saling percaya, saling menghormati, saling menghargai demi terciptanya lingkungan sosial-kemasyarakatan yang harmonis. Kata metani dalam ungkapan tersebut terbentuk dari kata dasar bahasa Jawa petan (cari kutu rambut), dan metani berati (mencari kutu rambut). Petan yang berubah menjadi metani sebagai bentuk aktif, yang berarti mencari kutu rambut. Kata alaning (jeleknya) terbentuk dari kata ala (jelek) dan mendapat akhiran ning . Kata liyan (lain, pihak lain) berasal dari kata dasar liya yang mendapat ahiran an lain, sehingga berarti lain atau orang lain. Kutu rambut adalah hewan yang sangat kecil, sudah pasti hewan itu sulit didapatkan. Orang mencari kutu rambut memberi gambaran mencari sesuatu yang kecil di tengah-tengah rambut. Akan tetapi, pekerjaan yang sulit itupu...

Aja Nggege Mangsa

Ungkapan aja nggege mangsa terdiri dari kata aja (jangan), nggege (mempercepat atau mendahului) dan mangsa (waktu). Secara eksplisit, ungkapan aja nggege mangsa berarti ‘jangan mendahului waktu’. Dalam etika dan filsafat Jawa, ungkapan itu memiliki makna yang lebih dalam. Pemaknaanya terkait erat dengan sikap hidup dan kaitan jati dir manusia sebagai individu, sosial dan umat ciptaan Tuhan. Ungkapan aja nggege mangsa berisi nasihat agar dalam upaya mencapai maksud atau cita-cita tertentu, seseorang harus mampu mengendalikan dirinya. Demi suatu keinginan sesorang dianjurkan untuk tidak melakukan kecurangan. Tanpa didasari oleh pengendalian diri dan keyakinan bahwa segalanya akan ditentukan oleh Tuhan, seseorang seringkali tergelincir pada sikap nggege mangsa (mendahului waktu). Dari keinginan yang tidak terkendali itu, seseorang bisa terperosok pada tindakan negatif asal tujuan atau keinginannya tercapai. Untuk menghindar dari hal tersbut, maka dalam berusaha kita perlu menyeimb...

Ana Catur Mungkur

Ana catur mungkur arti lugasnya adalah "ada pembicaraan membelakangi". Secara kiasan ungkapan itu dimaksudkan untuk menggambarkan yang menyangkut keburukan atau kelemahan pihak orang lain. Catur artinya ngrasani eleking liyan (membicarakan keburukan orang lain) dengan maksud menjatuhkan atau menghina orang tersebut. Tindakan ngrasani (membicarakan, atau mempergunjingkan) harus dipandang sebagai perbuatan yang tidak baik karena dapat menimbulkan sakit hati pada diri orang yang dirasani (pihak yang dibicarakan keburukannya). Pada umumnya, nyatur atau ngrasani (membicarakan) orang lain itu mengacu pada sudut kelemahannya atau sisi negatifnya, dan jarang membicarakan dari sudut kebaikannya karena tujuannya memang untuk menjatuhkan martabat orang yang dirasani atau dipergunjingkan. Ungkapan ini sejajar dan selaras dengan nasihat aja metani alaning liyan (jangan mencari-cari keburukan orang lain). Seseorang lazimnya lebih senang mencela orang lain. Ia enggan dan tidak mau men...