Langsung ke konten utama

Aja Cedhak Kebo Gupak

Dalam pandangan masyarakat Jawa, watak dan perbuatan atau kepribadian seseorang diperngaruhi oleh pergaulan atau akibat komunikasi dengan oran lain, Oleh sebab itu, orang Jawa memiliki pertimbangan yang sangat hati-hati dalam memilih teman pergaulan. Jika bergaul dengan orang yang berperilaku baik, kemungkinan besar dirinnya akan berkembang menjadi pribadi yang baik. Sebaliknya, jika bergaul dengan orang berperangai buruk atau jelek, seseorang cenderung tumbuh menjadi pribadi yang tidak baik. Secara gambling, jika bergaul dengan pencuri, perampok, pembunuh, koruptor, pemeras, pemberontak, dan sejenisnya, seseorang akan memiliki watak sebagai pencuri, perampok, pembunuh, koruptor, pemeras, pemberontak, dan sebagainya.



Sejalan dengan itu ungkapan witing tresna jalaran seka kulina pun memiliki relevansi dalam pembentukan perilaku seseorang akibat pergaulannya. Pada awalnya seseorang merasa kaku atau kikuk sewaktu bergaul dengan orang-orang berperangai buruk. Akan tetapi, lama kelamaan, ia akan terbiasa dan akhirnya, jadilah ia bagian yang tidak terpisahkan dengan orang-orang yang melakkan kejahatan. Disamping itu, seperti layaknya aruskejahatan, sesuatu yang buruk lebih mudah merasuk ke dalam pikiran seseorang. Dan, sudah lazim dan terbukti bahwa orang-orang yang melakukan tindak kejahatan itu memiliki ikaan yang sangat kuat. Oleh sebab itu, jika telah masuk dalam jaringan orang-orang “abnormal” (kelompok pelaku kejahatan), seseorang sulit melepaskan diri dan kembali ke jalur hidup yang “normal” (kebaikan).

Berdasarkan hal itu, perlukah seseorang memilih pergaulan hidup yang sebaik-baiknya. Jika memiliki orientasi untuk tumbuh dan berkembang kea rah perilaku yang baik “normal” (tidak melanggar norma etika, hukum, agama, sosial, dan kebangsaan), tidak ada pilihan lain kecuali mencari teman pergaulan orang-orang yang berperangai baik. Oleh sebab itu, orang-orang tua dan orang0orang arif tempo dulu menasihatkan dengan anjuran aja cedhak kebo gupak (jangan dekat kerbau kotor). Sebenarnya, ungkapan ini tidak hanya berfungsi sebagai anjuran, meainkan sebagai larangan yang terbukti dengan dipakainya kata aja (jangan). Kebo gupak (kerbau kotor) sebagai lmbang orang-orang berperangai buruk. Dengan demikian maksud larangan itu adalah kita jangan mendekati orang-orang berperngai buruk dengan harapan tidak akan tertulari keburukannya. Nasihat itu juga tertera dalam Serat Wulangreh karya Sunan Pkubuwana IV, sebagaimana dikutip berikut ini.

Yen wis tinitah wong agung,
Aja sirna nggunggung dhiri
Aja leket lan wong ala
Kang ala lakunireki
Nora wurung ngajak-ajak
Satemah anunulari
Yen wong anom opan wus tamtu
Manut marang kang ngadhepi
Yen kangngadhep akeh bangsat
Ora wurung bias juti
Yen kang ngadhep ke dhurjana
Nora wurung bias maling

Disamping itu ungkapan aja cedhak kebo gupak memiliki maksud yang sama dengan ungkapan yang lain, yakni aja cedhak kirik gudhigen
(jangan dekat anak anjing kudisan) dan aja cedhak celeng boloten (jangan dekat babi hutan boloten). Kirik gudhigen (anak anjing kudisan) sebagai lambang orang yang jahat. Celeng boloten adalah gambaran orang yang berperilaku kotor (bolot adala kotoran yang melekat pada tubuh).

Larangan dekat dengan celeng boloten dimaksudkan agar tidak tertular oleh perilaku kotor tersebut. Oleh karena itu, kita tidak oleh mendekati kirik gudhigen itu agar tidak tertular sehingga diri kita tidak menjadi gudhigen (kudisan).

Hikmah yan dapat dipetik dari ungkapan-ungkapan tersebut adalah perlunya berhati-hati dalam memilih teman pergaulan. Jika ingin memiliki perilaku yang baik, harus berkawan dngan orang aik. Jangan bergaul dengan orang-orang berperilaku buruk jika seseorang erharap memiliki watak yang baik, yakni watak yang lembah manah (rendah hati), tepa slira, perwira, dan memayu hayuning bawana (menjaga keselamatan dunia atau kehidupan) melalui tindakan memangun karyenak tyasing sasama (mengupayakan orang lain senag hatinya) karena tindakan dan lelabuhan (pengorbanan) kita. Seara simbolik, jika ingin memiliki watak yang bagus dan cantik aja cedhak kebo gupak (jangan dekat kebau kotor) atau aja cedhak kirik gudhigen (jangan dekat anak anjing kudisan). Siapa yang dekat dengan kerbau kotor aau kirik gudigen, pasti cepat atau lambat akan menjadi kotor, atau dirinya akan menjelma kebu gupak atau kirik gudhigen.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aja Metani Alaning Liyan

Ungkapan aja metani alaning liyan berisi nasihat yang berorientasi pada upaya untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam pergaulan sosial. Pendek kata, agar terjadi situasi hidup bermasyarakat yang saling percaya, saling menghormati, saling menghargai demi terciptanya lingkungan sosial-kemasyarakatan yang harmonis. Kata metani dalam ungkapan tersebut terbentuk dari kata dasar bahasa Jawa petan (cari kutu rambut), dan metani berati (mencari kutu rambut). Petan yang berubah menjadi metani sebagai bentuk aktif, yang berarti mencari kutu rambut. Kata alaning (jeleknya) terbentuk dari kata ala (jelek) dan mendapat akhiran ning . Kata liyan (lain, pihak lain) berasal dari kata dasar liya yang mendapat ahiran an lain, sehingga berarti lain atau orang lain. Kutu rambut adalah hewan yang sangat kecil, sudah pasti hewan itu sulit didapatkan. Orang mencari kutu rambut memberi gambaran mencari sesuatu yang kecil di tengah-tengah rambut. Akan tetapi, pekerjaan yang sulit itupu

Ana Catur Mungkur

Ana catur mungkur arti lugasnya adalah "ada pembicaraan membelakangi". Secara kiasan ungkapan itu dimaksudkan untuk menggambarkan yang menyangkut keburukan atau kelemahan pihak orang lain. Catur artinya ngrasani eleking liyan (membicarakan keburukan orang lain) dengan maksud menjatuhkan atau menghina orang tersebut. Tindakan ngrasani (membicarakan, atau mempergunjingkan) harus dipandang sebagai perbuatan yang tidak baik karena dapat menimbulkan sakit hati pada diri orang yang dirasani (pihak yang dibicarakan keburukannya). Pada umumnya, nyatur atau ngrasani (membicarakan) orang lain itu mengacu pada sudut kelemahannya atau sisi negatifnya, dan jarang membicarakan dari sudut kebaikannya karena tujuannya memang untuk menjatuhkan martabat orang yang dirasani atau dipergunjingkan. Ungkapan ini sejajar dan selaras dengan nasihat aja metani alaning liyan (jangan mencari-cari keburukan orang lain). Seseorang lazimnya lebih senang mencela orang lain. Ia enggan dan tidak mau men

Aja Nggege Mangsa

Ungkapan aja nggege mangsa terdiri dari kata aja (jangan), nggege (mempercepat atau mendahului) dan mangsa (waktu). Secara eksplisit, ungkapan aja nggege mangsa berarti ‘jangan mendahului waktu’. Dalam etika dan filsafat Jawa, ungkapan itu memiliki makna yang lebih dalam. Pemaknaanya terkait erat dengan sikap hidup dan kaitan jati dir manusia sebagai individu, sosial dan umat ciptaan Tuhan. Ungkapan aja nggege mangsa berisi nasihat agar dalam upaya mencapai maksud atau cita-cita tertentu, seseorang harus mampu mengendalikan dirinya. Demi suatu keinginan sesorang dianjurkan untuk tidak melakukan kecurangan. Tanpa didasari oleh pengendalian diri dan keyakinan bahwa segalanya akan ditentukan oleh Tuhan, seseorang seringkali tergelincir pada sikap nggege mangsa (mendahului waktu). Dari keinginan yang tidak terkendali itu, seseorang bisa terperosok pada tindakan negatif asal tujuan atau keinginannya tercapai. Untuk menghindar dari hal tersbut, maka dalam berusaha kita perlu menyeimb